Kamis, 11 Desember 2008

TUHAN BARU SANG BAJINGAN

Tuhan Baru Sang Bajingan
(Djoko Su'ud Sukahar )


Ketika melihat presiden dan para gubernur ramai-ramai meneriakkan ‘antikorupsi’ di televisi, ada celetukan bernada sarkasme. Orang Indonesia itu memang kompak. Kebersamaannya patut dipuji. Satu korupsi semuanya serempak korupsi. Dan jika ‘bapaknya’ berteriak antikorupsi, gemuruh deklarasi anti korupsi pun membahana se-Nusantara. Kita memang gampang mufakat. Mufakat untuk berbuat baik dan mufakat melakukan kejelekan.

Namun benarkah ‘permufakatan kebaikan’ yang diteriakkan secara koor itu akan sertamerta menghilangkan tindak korupsi? Rasanya jauh panggang dari api. Korupsi masih akan laten terjadi. Sogok dan suap jadi roda kehidupan. Dan upeti dalam bentuk ‘uang jasa’ serta komisi rutin direalisasi.

Mengapa pesimisme itu menggelayuti hati di tengah gempitanya perang melawan korupsi? Itu lebih karena kenyataan, budaya bangsa ini telah hancur binasa. Persepsi nilai luhur telah jauh bergeser. Dari ‘budaya budi’ yang menekankan keluhuran, kejujuran dan sikap amanah, berubah menjadi ‘budaya materi’ yang mempersepsi harga diri dan gengsi ‘bisa dibeli’.

Di zaman ini memang hampir tidak ada lagi orang yang bangga dengan kemiskinan karena kejujuran dan ketulusan. Dan tidak ada pula yang punya keberanian untuk menolak rezeki yang bukan haknya. Semuanya berlomba dalam semangat ‘sepi ing gawe rame ing pamrih’. Berebut harta melalui cara apa saja. Pameo manusia mati meninggalkan nama dianggap telah usang dan tergantikan dengan ‘manusia mati mewariskan kekayaan’.

Banyaknya ‘kere munggah bale’, orang kaya mendadak dianggap lumrah. Tak disoal kekayaan itu hasil ‘tisani’, tipu sana tipu sini. Malah melacurkan diri demi harta atau ‘makan’ teman sendiri dan korupsi dikonotasikan cerdas. Bangga sebagai bajingan itu terjadi karena kearifan leluhur serta harga diri sebagai bangsa yang beradab sudah sirna.

Simak saja para koruptor yang masuk bui. Mereka terlihat begitu tenang dan berwibawa. Tidak ada rasa risih dan malu ketika diajak bicara kesibukannya di penjara. Juga tidak terlihat beban tatkala tertangkap tangan atau mereview tindak bejatnya di kala rekonstruksi. Itu yang membuat kaya hasil simsalabim jadi trend, yang celakanya jadi mimpi-mimpi mayoritas warga negeri ini.

Kabar pejabat baru mencari kesempatan sudah umum. Cari peluang untuk melakukan ‘tindak tak terpuji’ tidak tabu lagi. Itu karena harta telah menjadi ‘tuhan baru’ yang menjanjikan tahta dan gengsi. Tanda, bahwa cengkeraman virus dekaden telah bersimaharaja melumat bangsa ini.

Kebiasaan buruk yang telah mentradisi itu juga mengubah pandangan masyarakat terhadap nilai keberhasilan atau kegagalan seseorang. Yang masih lurus dan amanah tidak diapresiasi. Jika ada orang yang miskin akibat sikapnya itu, bukan tabik hormat yang diterima, tapi rasa iba dan sinisme. “Kasihan dia, karena jujur tetap miskin dan nggak punya apa-apa sampai pensiun.” Betapa tragisnya, kejujuran telah dianggap sebagai aib. Sikap yang menjijikkan !

Jika sudah seperti itu pandangan ideal hidup dan melakoni hidup sebagian warga negeri ini, adakah bisa ‘disembuhkan’ secara instan? Seberapa kuat teriakan antikorupsi mampu memberikan penyadaran?

Saat ini ditaksir sudah satu atau dua generasi yang terjangkit virus korupsi. ‘Membuang’ semuanya tak mungkin. Langkah penyelamatan adalah amputasi. Memotong bagian yang sudah terinfeksi. Hukuman mati merupakan pilihan. Itu jika tak ingin negeri yang konon gemah ripah ini semakin bangkrut dan terus-menerus dililit kemelaratan.(iy/iy)

Jumat, 11 Juli 2008

Pahlawan dan Perang Dalam Makna

Sebuah tulisan yang diteruskan dr salah satu bloger, yang mungkin bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.........

Betapa ternyata bangsa kita terlalu dekat dengan apa yang disebut dengan budaya kekerasan. Lihat saja fenomena geng motor yang ada di Bandung dan sekitarnya yang akhir-akhir ini banyak dikupas di layar televisi kita. Begitu juga dengan keberadaan geng di SMA-SMA favorit di Jakarta yang terus melanggengkan kekerasan dari generasi ke generasi. Tak ketinggalan juga dengan IPDN, tempat yang sebenarnya didirikan untuk mencetak abdi rakyat negeri ini. Belum lagi dengan demonstrasi-demonstrasi yang seringkali berakhir dengan kericuhan, tawuran antar sekolah (dan antar universitas), kebrutalan Satpol PP dalam menertibkan pedagang, radikalisme FPI dan ormas-ormas sejenis, terorisme, dan kasus-kasus lainnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan bangsa ini sehingga kita lebih sering menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan?

Hal ini sepertinya tak terlepas dari pola pikir masyarakat kita yang dipengaruhi dengan sistem yang berlaku selama ini. Lihat saja keberadaan film-film dan tayangan-tayangan di layar televisi yang mengeksploitasi dan mempertontonkan kekerasan dengan sedemikian vulgar. Ditambah lagi dengan pola pikir yang diwariskan oleh para pendahulu kita dalam memberikan persepsi tentang arti kata ‘pahlawan’ dan ‘kejantanan’. Sejak masa kanak-kanak, otak kita sudah seringkali dijejali pemahaman bahwa pahlawan adalah ‘sosok yang ikut serta berperang melawan penjajah, sosok yang berani mengorbankan jiwa, raga dan nyawanya dalam pertempuran hanya dengan berbekal bambu runcing dan ikat kepala merah putih.’

Pemahaman semacam ini tanpa disadari telah mengajarkan kepada anak-anak bangsa kita, bahwa kata ‘pahlawan’ lebih dekat dengan ‘kekerasan’ ketimbang ‘pemikiran’. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang pahlawan, kita harus berani berperang dan angkat senjata membela negara. Meskipun sebenarnya ada juga pahlawan nasional kita dari kalangan pemikir, namun prosentasenya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah ‘pahlawan’ dari kalangan militer. Lihat saja keberadaan ruas-ruas jalan yang ada di negeri ini yang mayoritas didominasi nama sosok-sosok militer yang dulu berjuang ketika jaman perang. Hal ini membuktikan bagaimana bangsa kita begitu ‘mendewakan’ pahlawan yang berlaga di medan pertempuran, yang secara kasar bisa diartikan adalah mereka, sosok-sosok haus darah yang mengesampingkan kemanusiaan dan lebih memilih peperangan dalam menyelesaikan permasalahan. Sebagai contoh, coba tanyakan kepada masyarakat kita, mana yang lebih pahlawan di antara ‘Hatta’ dan ‘Soedirman’,?

Sebagai bukti lain seberapa besar masyarakat kita begitu mencintai budaya kekerasan dan perang adalah yang terjadi di kota Semarang. Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan dan Hari TNI, di museum Mandala Bhakti diadakan pameran alat utama sistem senjata (Alutsista) yang dibuka untuk umum. Dalam pameran ini, TNI mempertontonkan peralatan perang yang mereka miliki kepada masyarakat umum. Tak sedikit anak-anak yang tertarik untuk mencoba-coba peralatan perang yang dipamerkan di sini. Bukankah benar-benar sesuatu yang ‘mendidik’, ketika anak-anak yang masih berpikiran polos itu sudah diperkenalkan dengan mesin-mesin pembunuh dalam usia yang sedemikian dini? Menurut saya, dengan alasan apapun; entah itu agama, mempertahankan kedaulatan atau kehormatan, atau alasan-alasan yang lain; yang namanya pembunuhan tetaplah pembunuhan. Entah terjadi di jaman perang atau perdamaian, menghilangkan nyawa orang lain tetaplah sebuah kejahatan. Dan mengenalkan anak-anak dengan mesin pembunuh semacam itu, bukanlah sebuah tindakan yang bijak. Kecuali jika kita memang menginginkan masyarakat kita akan tetap terus seperti ini. Masyarakat yang terus mencintai kekerasan. Masyarakat yang mempercayai bahwa kekuatan fisik bisa melahirkan solusi.

Mungkin kita bisa belajar dari cerita tentang Santo Fransiscus Assisi, yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah kota di Italia (Kota Assisi). Pada jamannya, ketika orang lain berangkat membawa senjata lengkap dalam rangka perang salib, dia berangkat hanya membawa Injil sebagai protes bahwa tidak ada permasalahan yang dapat diselesaikan dengan kekerasan dan perang. Dialah yang pergi menyalami Sultan Mesir sebagai seorang sahabat yang merindukan perdamaian.
Bangsa ini akan jauh lebih beradab jika kita bisa melahirkan Assisi-Assisi lain di dalam benak masing-masing. Percayalah, bahwa pertumpahan darah tak akan pernah menyelesaikan masalah.

Sabtu, 14 Juni 2008

Menyelami Samudra Hati Sungguh-Sungguh Dahsyat

Sungguh diri ini adalah laboratorium Allah yang begitu misteri dan adalah pekerjaan yang membutuhkan energi besar dalam bentuk ibadah wajib dan sunnah sebagai satu-satunya jembatan untuk menjelajahinya dan mencapai titik tertentu. Tingkat pencapaianpun sangat bergantung pada usaha masing-masing. Ada yang sudah puas hanya dengan menggunakan becak, ada pula yang memilih pakai pesawat JET walapun dia tau memerlukan biaya mahal dan pengorbanan yang amat sangat untuk membeli/menyewa JET tersebut. Tapi demi mencapai hasil yang maksimal, pengorbanan sebesar apapun akan tetap diupayakan olehnya. Ya Allah............. Cintamu adalah segalanya bagiku dan hanya dengan rahmat serta hidayahmu jualah aku dapat menggapainya karena memang tanpa daya dan upaya dariMu, aku bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku lema.......lemah...............lemah,.............sungguh lemah ya allah........... Ihdinas Shiraathal Mustaqiim

jangan...jangan....tolong jangan....

jangan pernah mencoba berani bilang bahwa ketika ada segelas air putih didepan kita, kita langsung menyimpulkan secara pasti itu adalah benar-benar air putih, padahal bisa saja barangkali isi gelas itu adalah softdrink "sprite". untuk memastikan apakah itu adalah benar-benar air putih atau sprite dan bahkan munkin racun setelah kita mencicipinya. begitu juga kiranya pada konteks ibadah sholat, dsb. kita akan mampu mencicipi nikmatnya sholat tersebut ketika kita betul-betul telah menyelaminya lebih dalam dengan senantiasa selalu melatih diri, minimal sholat2 yang wajib aja dululah....... sukses.....

Jumat, 13 Juni 2008

mai kese dula kese

mai ta kapoda mena ade kamboto osu, wara kudu ndi ngaha aka ai naina makento. parenta ndaina Ruma re, ede ndi karawi, laina ndi nuntu ncau-ncau, sehingga nefa ade karawi sampe wati du wara wali kesempatan ndi karawi kai karena weha kambali ba ruma nawa ndai... mai menara ta tampu'u menaku ake-ake wa'u, dari hal ma to'i-to'i sampe wauna tumbuhkan kesadaran yang hakiki. untuk sementara ini hanya ake waumpa ndi loa nggahi ba la mada kaso ta, mudah2an wara manfaat na bagi yang pernah buka blog mada ake, sukses....